Diamnya silent majority, ada di antara mereka yang takut dituduh sebagai telah menjadi sama dengan orang lain, sama dengan agama dan kepercayaan lain, atau pun menjadi bagian dari mereka yang seharusnya ditolak ada dan keberadaannya. Memang serba salah.
Akibatnya, pada banyak contoh, ketika diajak berseru (termasuk) tentang, misalnya, melawan penolakan pendirian rumah ibadah, maka tak sedikiti yang enggan atau ikut dengan setengah hati. Alasannya sederhana, yaitunanti ini dan nanti itu; kami di sini, kami aman, jika media tahu, dan wajah serta suara kami terliput media, maka akan ini dan itu.
Juga ketika diminta sedikit beropini tentang kaum minoritas lainnya, ketertindasan kaum minoritas, kekerasan atas nama agama, ulah ormas radikal, radikalisme, teror dan terorisme, dan sejenis dengan itu, sangat banyak silent majority yang hanya diam, tak berseru, tak berani bersuara; seakan mendadak terserang bisu dan tuli kontemporer.
Mereka seakan menunjukan bahwa toh tak ada hubungan denganku di sini; jadi lebih baik diam; daripada …. maka lebih baik diam, dan itu aman.
Ya, itulah kondisi silent majority; mereka ada dan berada pada zona nyaman, dan kerangkeng dengan frame semu, sehingga tak bisa keluar, untuk melihat, bersuara, berteriak, terhadap ketidakadilan, intoleran, dan ketimpangan sosial, serta carut marut sosial yang terjadi di sekitarnya.
Diamnya silent majority tersebut paling kentara, mudah terlihat ketika adanya ramai, keriuhan gerakan radikalisme, intoleransi, anti yang minoritas, terorisme.
Lalu, siapa saja yang bisa termasuk sebagai Silent Majority, bisa saya dan anda (yang sedang baca), yang memilih diam dan tidak bersuara terhadap intoleransi dan radikalisme di negeri ini. Juga, mayoritas diam tersebut bisa juga kaum akademisi dan terdidik, tokoh agama (Ulama, Pastor, Pendeta, Pedanda, Biksu/ni, dan seterusnya), Wartawan, Pers, Politisi, dan sebagainya yang tahu serta melihat beberbagai ketidakberesan di negeri ini akibat sentimen SARA, intoleran, radikalisme, serta penyimpangan-penyimpangan sosial budaya HAM dan lainnya namun diam serta selalu diam; diam karena tidak mau serta takut bersuara serta berseru untuk melawan.
Akibat dari diamnya itu, maka mereka para pelakon sentimen SARA, intoleran, radikalisme, serta penyempangan-penyimpangan lainnya semakin menjadi-jadi serta merasa benar, sehingga terus-menerus bertindak liar dan brutal.
Karena kebanyakan (dari kita) lebih suka diam tersebut, maka seorang rekan guru besar menyatakan bahwa, “… kaum intoleran semakin berani berulah di negeri ini, karena kita adalah bangsa yang lebih suka diam terhadap mereka, apalagi yang bertindak itu seagama dengan kita….; mereka yang mayoritas diam itu, ada di/dalam semua agama, seluruh strata, segenap lapisan masyarakat, ….”
Oleh sebab itu, menurutku, harus ada perubahan dalam diri (kita), yang mungkin saja termasuk mereka yang tergolong mayoritas diam; diam karena takut, tak berani, serta cuek terhadap lingkungan sekitar (kuberharap anda bukan termasuk mayoritas diam karena pendukung akibat sentimen SARA, intoleran, radikalisme, serta penyimpangan-penyimpangan sos-bud-ham lainnya). Perubahan tersebut adalah berani untuk bersuara; ya, berani bersuara.
Caranya sederhana, gampang dan murah. Paling tidak, anda dan saya bisa dan membiasakan diri untuk menyampaikan virus perlawanan terhadap sentimen SARA, intoleran, radikalisme, serta penyimpangan-penyimpangan lainnya, kepada anggota keluarga, anak didik, mahasiswa, serta orang-orang sekitar. Menyampaikan dan terus menerus menyampaikan dengan tanpa lelah.
Bangsa ini bisa lepas dari cengkraman sentimen SARA, intoleran, radikalisme, penyimpangan-penyimpangan lainnya jika anda tidak diam; jika anda terus menerus bersuara. Jadi, jangan jadi mayoritas diam. Bersuaralah …..!!
Gresik, 2018
Pemuda Peduli Dhuafa